LAYU SEBELUM BERKEMBANG
Oleh: Kiky Sastrawan
Petang masih
pekat, kurasakan udara dingin
menyelinap melalui celah-celah jendela yang masuk ke dalam tubuhku melalui
pori-pori kulit hingga menembus tulang. Namun
kupaksakan mataku untuk
berhenti dari terpejam,
kala itu jarum jam menunjukkan pukul
1:45 WIB, ku basuh wajah
dengan air wudhu.
Seusai shalat
malam aku bergegas
ke pasar untuk
bekerja seperti biasa, yaitu menjadi
kuli panggul. Aku tak peduli pada dinginnya angin petang yang
seolah membekukan sel-sel darahku. Malam itu aku
menawarkan jasa pada
seorang ibu, beruntungnya dia
tidak menolak dan menyuruhku untuk membawakan barang-barang belanjaannya. Dia membayarku sepuluh ribu sambil berkata “Untuk anak rajin sepertimu”.
tidak menolak dan menyuruhku untuk membawakan barang-barang belanjaannya. Dia membayarku sepuluh ribu sambil berkata “Untuk anak rajin sepertimu”.
Aku tinggal di pedalaman Kalimantan bersama ibu dan
kedua adikku, sedangkan ayahku telah meninggal satu tahun yang lalu dengan meninggalkan sebidang tanah. Aku seorang gadis berusia 18 tahun yang duduk
dibangku kelas tiga SMA. Impian terbesarku dalam jangka pendek ialah dapat
kuliah disalah satu Universitas di Kalimantan. Maka dari itu, aku rela menjadi
seorang wanita tukang kuli panggul agar dapat menabung untuk biaya kuliahku
kelak. Memang telah ku rasakan bahwa menjadi seorang kuli panggul itu bukanlah
hal yang mudah. Namun tak ada pilihan lain karena mungkin hanya dengan menjadi
kuli panggul aku dapat melanjutkan sekolah sambil bekerja. Tetapi semua itu
bukanlah permasalahan bagiku, aku begitu semangat melakukannya karena telah terbiasa
dan demi cita-cita, kawan-kawan di sekolah pun memanggilku dengan panggilan
gadis besi karena aku selalu membawa barang-barang yang terbilang berat.
Sabtu 26
Mei 2012 aku
menerima ijazah, rasa
senang, haru, bimbang
dan ragu saat
itu kurasakan. Aku
senang dan terharu
karena aku dapat
lulus pada waktunya. Namun, disisi
lain aku merasa
bimbang serta ragu
sebab aku menghadapi
dua pilihan yang
teramat rumit, yaitu
melanjutkan kuliah atau
bekerja. Jika aku
kuliah berarti aku
akan membiarkan ibu
lebih lelah dengan
harus bekerja lebih
keras untuk membiayai
kedua adikku. Tetapi
jika aku bekerja
berarti aku harus
mengubur begitu dalam impianku
untuk kuliah. Malam
harinya aku tak dapat
memejamkan mata sedikit
pun, aku terjaga
dengan lamunan berada
disuatu Universitas impianku. Sampai aku terhenti
dari lamunan saat
menyadari bahwa ibu
sedari tadi sudah
berada disampingku, aku
melihatnya dan ia
tersenyum padaku. Lalu
kemudian bertanya “Apa
tabunganmu cukup untuk
biaya pendaftaran kuliah?”
belum sempat aku
menjawab ibu memberikan
sebuah kaleng sambil
berkata “Itu uang hasil
tabungan ibu, semoga
berguna untukmu”.
Aku terpaku
melihat ketulusan ibu
menyayangiku, aku pun
berkata pada ibu
“Ibu bukannya aku
enggan menerima pemberian ibu. Tetapi sampai
saat ini aku masih
ragu, aku belum
bisa mengambil keputusan,
apakah aku akan
kuliah atau bekerja.
Jika aku kuliah
berarti aku akan
melihat ibu bertambah
lelah dengan bekerja
lebih keras dan
aku tidak ingin
semua itu terjadi.
Namun, aku pun
takkan pernah mampu
untuk mengubur impianku
jika harus bekerja
saat ini. Lalu ibu pun menjawab
sambil tersenyum “Ibu
tak akan pernah
merasa lelah jika ibu melihat anak-anak ibu dapat menggapai
impiannya. Percayalah, bahwa ibu baik-baik saja
dan menikmati pekerjaan ibu, "Ibu tahu
bahwa kamu menyayangi ibu dan adik-adikmu, ibu mendukungmu untuk
kuliah, raihlah cita-citamu. Sekarang kamu tak
perlu bimbang atau
pun ragu untuk
memilih antara bekerja
atau kuliah, semua
akan indah pada
waktunya sayang". Ujar ibu, akhirnya
aku memilih untuk
kuliah dan masuk
salah satu Universitas
di kotaku.
Senin 10
september 2012, pagi
yang cerah itu
ku awali dengan
senyum yang penuh
kegembiraan karena hari
ini adalah hari
pertamaku masuk kuliah.
Aku menyukai semua
yang ada dikampus,
para mahasiswa, para
dosen, satpam, buku-buku
diperpustakaan, ruang belajar
ruang dosen, tempat
beribadah, halamn kampus,
toilet, kantin, lobby
dan semuanya. Aku menjalani
hari-hari baruku di kampus dengan baik, aku memiliki banyak teman baru,
pengalaman baru serta pelajaran baru dan aku menikmati semua yang aku suka
di kampus. Waktu pun berlalu hingga tak terasa sudah enam bulan aku menjadi
seorang Mahasiswa, sampai pada suatu malam ketika aku sedang mengerjakan tugas
kampus tiba-tiba hidungku mimisan, segera aku membersihkannya dan mengira bahwa
itu bukanlah hal yang berbahaya.
Keesokan harinya ku dapati
hidungku mimisan kembali dan kepalaku terasa sedikit pusing, akhirnya aku
memutuskan untuk tidak pergi ke kampus. Sudah beberapa hari aku berada di rumah
dengan kondisiku yang semakin hari semakin memburuk, ketika ibu mengajakku
pergi berobat, aku menolaknya. Sebab, aku yakin tidak lama lagi aku pasti
membaik. Namun, perkiraanku meleset yang ternyata kondisiku semakin memburuk
dan parahnya ku dapati muka ku membengkak pada bagian pipi yang beberapa hari
ini memang sudah terasa sakit. Melihat kondisiku yang semakin memburuk ibu
memaksaku untuk pergi kedokter dan kali ini aku pun tak kuasa untuk
menolaknya.
Setelah di periksa, ternyata aku
mengidap penyakit Aneurisme (pecah pembuluh
darah) jelas aku pun kaget, apalagi ibu yang kulihat telah berlinang air mata,
dengan ragu ibu bertanya pada dokter pengobatan apa yang harus aku jalani, dan dokter menganjurkan agar aku di kemoterapi. Aku tahu bahwa kemoterapi
itu harus dijalani beberapa kali dengan biaya yang tidaklah sedikit, sampai ibu
memutuskan untuk menjual tanah peninggalan ayah agar aku dapat menjalani
pengobatan. Hari itu aku menjalani kemoterapi perdanaku, sebelum tiba di Rumah
Sakit aku meminta maaf pada ibu karena aku merasa telah menambah beban ibu. Namun kembali senyum itu kutemui dibibirnya, dia bilang bahwa dia sama sekali
tidak merasa terbebani olehku sekalipun aku mengalami sakit keras, yang dia
inginkan aku segera sembuh dan dapat kembali ke kampus, bertambahlah
kekagumanku pada ibu. Aku terbaring di ranjang Rumah Sakit dan dokter
menyuntikkan obat pada lenganku yang khasiatnya begitu amat sakit meskipun
telah menggunakan pembius terlebih dulu, aku menangis karena kesakitan itu dan
kurasakan ibu menggenggam jari lenganku dengan erat. Ku lihat dia menangis dan
wajahnya terlihat tampak semakin tua dengan lipatan-lipatan pada pipinya. Namun
itulah yang membuat aku merasa begitu kuat untuk menahan sakitnya pengobatan
ini, sebab aku berpikir aku harus kuat agar aku bisa segera sembuh dari
penyakitku karena dengan begitu aku bisa mengurangi beban ibu.
Beberapa bulan ku jalani kemoterapi dan sedikit demi sedikit rambutku mulai rontok hingga pada akhirnya benar-benar habis, kini aku
tak memiliki sehelai pun rambut karena kemoterapi adalah pengobatan yang
keras sampai menyebabkan kerontokan yang parah. Namun, aku sama sekali tidak
mempermasalahkan soal rambutku, karena kemoterapi itu kondisiku semakin
membaik. Aku bersyukur pada Tuhan karena telah membuat aku kuat saat harus
menjalani semua cobaan ini.
Pagi itu cuaca begitu cerah
dengan kicauan burung yang terdengar begitu merdu, aku melangkahkan kaki menuju
halaman rumah dengan perlahan dibantu ibuku. Namun, baru saja beberapa langkah
aku sudah merasa begitu lemas dan saat itu juga aku terjatuh ke lantai. Ibu
membantuku untuk berdiri, tetapi aku benar-benar tidak mampu untuk berdiri
lagi, rasanya otot-otot pada kakiku teras mati. Aku bertanya pada ibu “Apa yang
terjadi pada kakiku bu?”, ibu terlihat kebingungan untuk menjawab pertanyaanku.
Aku merasa heran dengan kaki ku,
ku coba untuk menggerakkan kaki ku kembali tetapi tetap tidak bisa. Sore harinya
ada seorang dokter yang datang ke rumah untuk memeriksa kaki ku, setelah beberapa
saat memeriksa, dia berkata bahwa aku mengalami kelumpuhan. Aku bertanya
“kenapa bisa begitu?”, dokter pun menjawab “Itu adalah efek samping dari kemoterapi yang kamu jalani”. Aku terpaku dan tak bisa berkata apa-apa. Ibu
memelukku sambil menangis dan berkata “yang tabah ya nak, semua cobaan ini
pasti ada akhirnya”. Namun, kata-kata Ibu tak dapat membangkitkan semangatku dan
sejak saat itu aku menjadi putus asa, aku lebih sering menyendiri dan kondisiku
semakin memburuk. Aku tidak pernah lagi menelan obat-obatan yang dokter
berikan, tubuhku semakin hari semakin kurus, aku tahu bahwa aku harus ikhlas
menerima semua kenyataan tentang penyakitku yang semakin menjalar menggerogoti
tubuhku, tetapi sepertinya rasa putus asa telah tertanam di jiwaku dan hari itu
aku tidur dengan damai tanpa pernah membuka mata lagi.
No comments:
Post a Comment