Assalamu'alaikum

Assalamu’alaikum, Selamat Datang Di Blog Kiky Sastrawan :) Salam Sastra

Saturday 13 July 2013

Layu Sebelum Berkembang

LAYU SEBELUM BERKEMBANG

Oleh: Kiky Sastrawan
            Petang  masih  pekat, kurasakan udara dingin menyelinap melalui celah-celah jendela yang masuk ke dalam tubuhku melalui pori-pori kulit hingga menembus tulang. Namun  kupaksakan  mataku  untuk  berhenti  dari  terpejam,  kala itu  jarum  jam  menunjukkan  pukul  1:45  WIB, ku  basuh  wajah  dengan  air  wudhu. Seusai  shalat  malam  aku  bergegas  ke  pasar  untuk  bekerja  seperti  biasa, yaitu  menjadi  kuli  panggul. Aku tak peduli pada dinginnya angin petang yang seolah membekukan sel-sel darahku. Malam  itu  aku  menawarkan  jasa  pada  seorang  ibu, beruntungnya  dia 
tidak  menolak dan menyuruhku untuk membawakan barang-barang belanjaannya. Dia  membayarku  sepuluh  ribu  sambil  berkata  “Untuk  anak  rajin  sepertimu”.

            Aku tinggal di pedalaman Kalimantan bersama ibu dan kedua adikku, sedangkan ayahku telah meninggal satu tahun yang lalu dengan meninggalkan sebidang tanah. Aku seorang gadis berusia 18 tahun yang duduk dibangku kelas tiga SMA. Impian terbesarku dalam jangka pendek ialah dapat kuliah disalah satu Universitas di Kalimantan. Maka dari itu, aku rela menjadi seorang wanita tukang kuli panggul agar dapat menabung untuk biaya kuliahku kelak. Memang telah ku rasakan bahwa menjadi seorang kuli panggul itu bukanlah hal yang mudah. Namun tak ada pilihan lain karena mungkin hanya dengan menjadi kuli panggul aku dapat melanjutkan sekolah sambil bekerja. Tetapi semua itu bukanlah permasalahan bagiku, aku begitu semangat melakukannya karena telah terbiasa dan demi cita-cita, kawan-kawan di sekolah pun memanggilku dengan panggilan gadis besi karena aku selalu membawa barang-barang yang terbilang berat.

            Sabtu  26  Mei  2012  aku  menerima  ijazah,  rasa  senang,  haru,  bimbang  dan  ragu  saat  itu  kurasakan.  Aku  senang  dan  terharu  karena  aku  dapat  lulus  pada waktunya.  Namun, disisi  lain  aku  merasa  bimbang  serta  ragu  sebab  aku  menghadapi  dua  pilihan  yang  teramat  rumit,  yaitu  melanjutkan  kuliah  atau  bekerja.  Jika  aku  kuliah  berarti  aku  akan  membiarkan  ibu  lebih  lelah  dengan  harus  bekerja  lebih  keras  untuk  membiayai  kedua  adikku.  Tetapi  jika  aku  bekerja  berarti  aku  harus  mengubur  begitu dalam  impianku  untuk  kuliah.  Malam  harinya  aku tak  dapat  memejamkan  mata  sedikit  pun,  aku  terjaga  dengan  lamunan  berada  disuatu  Universitas  impianku. Sampai  aku  terhenti  dari  lamunan  saat  menyadari  bahwa  ibu  sedari  tadi  sudah  berada  disampingku,  aku  melihatnya dan  ia  tersenyum  padaku. Lalu kemudian  bertanya  “Apa  tabunganmu  cukup  untuk  biaya  pendaftaran  kuliah?”  belum  sempat  aku  menjawab  ibu  memberikan  sebuah  kaleng  sambil  berkata  “Itu uang  hasil  tabungan  ibu,  semoga  berguna  untukmu”.

            Aku  terpaku  melihat  ketulusan  ibu  menyayangiku,  aku  pun  berkata  pada  ibu  “Ibu  bukannya  aku  enggan  menerima  pemberian  ibu. Tetapi  sampai  saat  ini  aku masih  ragu,  aku  belum  bisa  mengambil  keputusan,  apakah  aku  akan  kuliah  atau  bekerja.  Jika  aku  kuliah  berarti  aku  akan  melihat  ibu  bertambah  lelah  dengan  bekerja  lebih  keras  dan  aku  tidak  ingin  semua  itu  terjadi.  Namun,  aku  pun  takkan  pernah  mampu  untuk  mengubur  impianku  jika  harus  bekerja  saat  ini. Lalu  ibu  pun  menjawab  sambil  tersenyum  “Ibu  tak  akan  pernah  merasa  lelah  jika  ibu  melihat  anak-anak ibu  dapat  menggapai  impiannya.  Percayalah,  bahwa  ibu  baik-baik  saja  dan  menikmati  pekerjaan  ibu,  "Ibu  tahu  bahwa  kamu  menyayangi  ibu  dan  adik-adikmu, ibu  mendukungmu  untuk  kuliah,  raihlah  cita-citamu. Sekarang  kamu  tak  perlu  bimbang  atau  pun  ragu  untuk  memilih  antara  bekerja  atau  kuliah,  semua  akan  indah  pada  waktunya  sayang". Ujar ibu,  akhirnya  aku  memilih  untuk  kuliah  dan  masuk  salah  satu  Universitas  di kotaku.
Senin  10  september  2012,  pagi  yang  cerah  itu  ku  awali  dengan  senyum  yang  penuh  kegembiraan  karena  hari  ini  adalah  hari  pertamaku  masuk  kuliah.  Aku  menyukai  semua  yang  ada  dikampus,  para  mahasiswa,  para  dosen,  satpam,  buku-buku  diperpustakaan,  ruang  belajar  ruang  dosen,  tempat  beribadah,  halamn  kampus,  toilet,  kantin,  lobby  dan  semuanya. Aku menjalani hari-hari baruku di kampus dengan baik, aku memiliki banyak teman baru, pengalaman baru serta pelajaran baru dan aku menikmati semua yang aku suka di kampus. Waktu pun berlalu hingga tak terasa sudah enam bulan aku menjadi seorang Mahasiswa, sampai pada suatu malam ketika aku sedang mengerjakan tugas kampus tiba-tiba hidungku mimisan, segera aku membersihkannya dan mengira bahwa itu bukanlah hal yang berbahaya.
Keesokan harinya ku dapati hidungku mimisan kembali dan kepalaku terasa sedikit pusing, akhirnya aku memutuskan untuk tidak pergi ke kampus. Sudah beberapa hari aku berada di rumah dengan kondisiku yang semakin hari semakin memburuk, ketika ibu mengajakku pergi berobat, aku menolaknya. Sebab, aku yakin tidak lama lagi aku pasti membaik. Namun, perkiraanku meleset yang ternyata kondisiku semakin memburuk dan parahnya ku dapati muka ku membengkak pada bagian pipi yang beberapa hari ini memang sudah terasa sakit. Melihat kondisiku yang semakin memburuk ibu memaksaku untuk pergi kedokter dan kali ini aku pun tak kuasa untuk menolaknya.
Setelah di periksa, ternyata aku mengidap penyakit Aneurisme (pecah pembuluh darah) jelas aku pun kaget, apalagi ibu yang kulihat telah berlinang air mata, dengan ragu ibu bertanya pada dokter pengobatan apa yang harus aku jalani, dan dokter menganjurkan agar aku di kemoterapi. Aku tahu bahwa kemoterapi itu harus dijalani beberapa kali dengan biaya yang tidaklah sedikit, sampai ibu memutuskan untuk menjual tanah peninggalan ayah agar aku dapat menjalani pengobatan. Hari itu aku menjalani kemoterapi perdanaku, sebelum tiba di Rumah Sakit aku meminta maaf pada ibu karena aku merasa telah menambah beban ibu. Namun kembali senyum itu kutemui dibibirnya, dia bilang bahwa dia sama sekali tidak merasa terbebani olehku sekalipun aku mengalami sakit keras, yang dia inginkan aku segera sembuh dan dapat kembali ke kampus, bertambahlah kekagumanku pada ibu. Aku terbaring di ranjang Rumah Sakit dan dokter menyuntikkan obat pada lenganku yang khasiatnya begitu amat sakit meskipun telah menggunakan pembius terlebih dulu, aku menangis karena kesakitan itu dan kurasakan ibu menggenggam jari lenganku dengan erat. Ku lihat dia menangis dan wajahnya terlihat tampak semakin tua dengan lipatan-lipatan pada pipinya. Namun itulah yang membuat aku merasa begitu kuat untuk menahan sakitnya pengobatan ini, sebab aku berpikir aku harus kuat agar aku bisa segera sembuh dari penyakitku karena dengan begitu aku bisa mengurangi beban ibu.
Beberapa bulan ku jalani kemoterapi dan sedikit demi sedikit rambutku mulai rontok hingga pada akhirnya benar-benar habis, kini aku tak memiliki sehelai pun rambut karena kemoterapi adalah pengobatan yang keras sampai menyebabkan kerontokan yang parah. Namun, aku sama sekali tidak mempermasalahkan soal rambutku, karena kemoterapi itu kondisiku semakin membaik. Aku bersyukur pada Tuhan karena telah membuat aku kuat saat harus menjalani semua cobaan ini.
Pagi itu cuaca begitu cerah dengan kicauan burung yang terdengar begitu merdu, aku melangkahkan kaki menuju halaman rumah dengan perlahan dibantu ibuku. Namun, baru saja beberapa langkah aku sudah merasa begitu lemas dan saat itu juga aku terjatuh ke lantai. Ibu membantuku untuk berdiri, tetapi aku benar-benar tidak mampu untuk berdiri lagi, rasanya otot-otot pada kakiku teras mati. Aku bertanya pada ibu “Apa yang terjadi pada kakiku bu?”, ibu terlihat kebingungan untuk menjawab pertanyaanku.
Aku merasa heran dengan kaki ku, ku coba untuk menggerakkan kaki ku kembali tetapi tetap tidak bisa. Sore harinya ada seorang dokter yang datang ke rumah untuk memeriksa kaki ku, setelah beberapa saat memeriksa, dia berkata bahwa aku mengalami kelumpuhan. Aku bertanya “kenapa bisa begitu?”, dokter pun menjawab “Itu adalah efek samping dari kemoterapi yang kamu jalani”. Aku terpaku dan tak bisa berkata apa-apa. Ibu memelukku sambil menangis dan berkata “yang tabah ya nak, semua cobaan ini pasti ada akhirnya”. Namun, kata-kata Ibu tak dapat membangkitkan semangatku dan sejak saat itu aku menjadi putus asa, aku lebih sering menyendiri dan kondisiku semakin memburuk. Aku tidak pernah lagi menelan obat-obatan yang dokter berikan, tubuhku semakin hari semakin kurus, aku tahu bahwa aku harus ikhlas menerima semua kenyataan tentang penyakitku yang semakin menjalar menggerogoti tubuhku, tetapi sepertinya rasa putus asa telah tertanam di jiwaku dan hari itu aku tidur dengan damai tanpa pernah membuka mata lagi.



No comments:

Post a Comment

San

San Titik katamu Kisah ini telah mencapai titiknya Padahal koma pun belum ku temukan diantara kisah kita Tapi kau sudah terburu-buru memberi...